Friday 27 January 2017

PENYAKIT ISPA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 LANDASAN TEORI
2.1.1  Tinjauan umum tentang ISPA
2.1.1.1  Pengertian ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut. ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan yang ditandai masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan dimulai dari organ hidung sampai alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.
Infeksi saluran pernapasan akut diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu infeksi saluran pernapasan akut berat (pneumonia berat) ditandai dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada saat inspirasi, infeksi saluran pernapasan akut sedang (pneumonia) ditandai dengan frekuensi pernapasan cepat yaitu umur di bawah 1 tahun, 50 kali/menit atau lebih cepat dan umur 1-4 tahun, 40 kali/menit atau lebih. Sedangkan infeksi saluran pernapasan akut ringan (bukan pneumonia) ditandai dengan batuk pilek tanpa napas cepat dan tanpa tarikan dinding dada (Depkes RI, 1996: 5).
Terjadinya ISPA pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Infeksi ini disebut dengan infeksi akut karena berlansung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit dapat digolongkan dalam ISPA, kurang dari 14 hari. Biasanya diperlukan waktu penyembuhan 5–14 hari (Nurrijal, 2009).
2.1.1.2  Etiologi ISPA
Penyebab penyakit ISPA adalah bakteri, virus, jamur dan lain-lain. Penyakit ISPA bagian atas disebabkan oleh virus, dan untuk ISPA bagian bawah disebabkan oleh bakteri , virus dan mycoplasma. ISPA pada bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri mempunyai manifestasi klinis yang sangat berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya (Mennegethi, 2009).
Bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA berasal dari genus Strepptococcus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Sedangkan untuk virus yang menyebabkan penyakit ISPA antara lain berasal dari golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, dan Herpesvirus (Mennegethi, 2009).
2.1.1.3  Klasifikasi ISPA
Penyakit ISPA di bagi menjadi dua berdasarkan letak anatominya, yaitu :
1)      ISPA Bagian Atas
ISPA bagian atas adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran pernapasan disebelah laring. Kebanyakan penyakit saluran pernapasan bagian atas dan bawah secara bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa diantaranya melibatkan bagian-bagian spesifik saluran pernapasan secara nyata.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagian atas diantaranya adalah Nasofaringitis Akut (Salesma), Faringitis Akut (termasuk tonsillitis dan faringitis) dan Rhinitis.
(1)   Rhinitis
Rhinitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, tapi kebanyakan rhinitis disebabkan karena alergi yang kemudian dapat di ikuti dengan bakteri. Umumnya penyakit ini sering timbul pada musim penghujan karena cuaca yang dingin.
(2)   Faringitis
Faringitis adalah  peradangan yang menyerang tenggorok atau faring yang disebabkan karena virus atau kuman. Infeksi ini merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering dijumpai.
2)      ISPA Bagian Bawah
ISPA bagian bawah adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran pernapasan bagian bawah mulai dari laring sampai alveoli. Penyakit-penyakit yang tergolong ISPA bagian bawah adalah Laringitis, Asma Bronchial, Bronchitis Akut maupun Kronis, Bronco Pneumonia atau Pneumonia (suatu peradangan pada paru dimana peradangan tidak saja pada jaringan paru, tetapi juga pada brochioli)
(1)   Laringitis
Laringitis adalah peradangan pada laring (pangkal tenggorok). Laring terletak dipuncak saluran udara yang menuju ke paru (trakea) dan mengandung pita suara yang disebabkan karena penggunaan suara yang berlebihan, reaksi alergi, menghirup iritan, demam, flu, dan pneumonia. Penyakit ini dapat menyertai bronkitis, pneumonia, influenza, pertusis, campak dan difteri. Gejala dari laringitis adalah suara serak, iritasi di tenggorok, demam, batuk, dan tenggorokan terasa buntu.
(2)   Pneumonia Viral
Pneumonia Viral disebabkan oleh virus yang ditandai dengan munculnya batuk-batuk kering. Keluhan lainnya seperti sakit kepala, sakit otot-otot atau di sendi dan kadang-kadang pilek. Terjadinya pneumonia ini sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kegagalan pernapasan serta terdapat gangguan jangka panjang pada saluran pernapas an sesudah sembuh.
(3)   Pneumonia Bakterialis
Pneumonia  Bakterialis adalah peradangan parenkrim paru dengan eksudasi dan konsolidasi, yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pneumonia ini dibagi menjadi 2 macam yaitu Pneumonia sebab kuman gram positif dan Pneumonia sebab kuman gram negatif.
Penyakit ISPA dapat di bagi menjadi dua berdasarkan golongan umur, yaitu :
1)      Kelompok  umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun, dibagi menjadi:
(1)   Pneumonia Berat
Pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk aatau kesukaran bernapas diseRtai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat (fast breahting) dimana frekuensi nafas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
(2)   Pneumonia Ringan
Pneumonia ringan didasarkan pada adannya batuk dan kesukaran bernapas diseRtai adanya napas cepat sesuai dengan umur. Batas napas cepat (fast breathing) pada anak usia 2 bulan -< 1 tahun adalah 50 kali per menit dan 40 kali per menit untuk anak usia 1 -< 5 tahun.
(3)   Bukan Pneumonia
Apabila ditandai dengan nafas cepat tetapi tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia ditandai dengan tidak ditemukannya tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu, tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk (Depkes RI, 2002).
2.1.1.4  Tanda dan Gejala ISPA
Dalam pelaksanaan program pengendalian penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai dengan adanya peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai golongan umur.
Menurut derajat keparahannya, ISPA dibagi menjadi tiga golongan yaitu (Suyudi, 2002):
1)      ISPA ringan bukan pneumonia
Gejala anak yang menderita ISPA ringan adalah sebagai berikut:
(1)   Batuk
(2)   Pilek, yaitu menegeluarkan lendir atau ingus dari hidung.
(3)   Panas dan demam, yaitu suhu badan anak lebih dari 37 0 C.
(4)   Serak, yaitu anak bersuara serak pada waktu mengeluarkan suara.
2)      ISPA sedang bukan pneumonia
Gejala anak yang menderita ISPA sedang adalah sebagai berikut:
(1)   Panas dan demam, yaitu suhu badan anak lebih dari 390C.
(2)   Tenggorokan berwarna merah.
(3)   Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
(4)   Pernapasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari 1 tahun dan untuk anak satu tahun atau lebih 40 kali/menit.
(5)   Pernapasan berbunyi sepeRti mendengkur.
(6)   Timbul bercak-bercak pada kulit.
3)      ISPA berat pneumonia berat
Gejala anak yang menderita ISPA berat adalah sebagai berikut:
(1)   Tenggorokan berwarna merah.
(2)   Pernapasan lebih dari 60 kali/menit dan nadi tidak teraba.
(3)   Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun.
(4)   Bibir atau kulit membiru.
(5)   Pernapasan berbunyi mengorok.
(6)   Sela iga teRtarik ke dalam pada waktu bernapas.
2.1.1.5  Patofisiologi ISPA
Virus merupakan penyebab tersering infeksi saluran nafas. Pada paparan pertama virus akan menyebabkan mukosa membengkak dan menghasilkan banyak lendir sehingga akan menghambat aliran udara melalui saluran nafas. Batuk merupakan mekanisme pertahan tubuh untuk mengeluarkan lendir keluar dari saluran pernafasan. Bakteri dapat berkembang dengan mudah dalam mukosa yang terserang virus, sehingga hal ini menyebabkan infeksi sekunder, yang akan menyebabkan terbentuknya nanah dan memperburuk penyakit.
2.1.1.6  Faktor Resiko ISPA
Terdapat beberapa faktor yang berperan terhadap kejadian penyakit ISPA, yaitu :
1)      Faktor dari Host (diri)
(1)   Status Gizi
Zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap peRtumbuhan dan perkembangan anak akan dihubungani oleh umur, keadaan fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersediannya makanan dan aktivitas dari anak. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adannya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat ISPA. Selain itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya seRta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.
Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terkena ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal. Hal ini disebabkan karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Infeksi dari penyakit ini akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.
(2)   Status Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit untuk meningkatkan kualitas hidup, perkembangan, dan efektivitas program imunisasi dapat dinilai dari penurunan angka kesakitan dan kematian penyakit tersebut. Balita atau anak yang tidak mendapatkan imunisasi dengan baik atau tidak rutin sangat berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan moRtalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif dengan memberikan imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah.
(3)   Pemberian Suplemen Vitamn A
Suplemen ini sangat berperan untuk masa peRtumbuhan, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempeRtahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi. Pemberian suplemen vitamin A dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. Suplementasi Vitamin A merupakan solusi kesembuhan ISPA karena salah satu khasiat Vitamin A dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi sepeRti ISPA. Oleh karena itu, pemberian kapsul vitamin A harus secara rutin dilakukan dengan rentang waktu enam bulan.
(4)   Pemberian ASI
ASI merupakan makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan peRtama kehidupannya. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan). ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan atau cairan lain.
ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan mengandung imun untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (Hidayat, 2009).
(5)   Berat Badan Lahir Rendah
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang dari 2500 gram. Berat Badan Lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama sakit saluran pernapasan lainnya. Bayi dengan BBLR sering mengalami penyakit gangguan pernafasan, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih lemah.
2)      Faktor  dari Lingkungan
(1)   Kondisi Rumah
Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berhubungan pada terjadinya dan tersebarnya ISPA. Beberapa komponen rumah yang berkaitan dengan kejadian ISPA adalah kondisi langit-langit, dinding rumah, lantai rumah, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi rumah, sarana pembuangan asap dapur, penerangan rumah dan konponen sarana sanitasi (Aprinda, 2007: 139-150).
Rumah yang jendela nya kecil menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah. Bayi dan anak yang sering menghisap asap lebih mudah terserang ISPA. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah juga memudahkan anak-anak terserang ISPA (Ranuh, 1997).
(2)   Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian di dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan (Kemenkes) nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah yaitu 8m­2. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Banyaknya anggota yang tinggal di dalam satu rumah merupakan faktor resiko terjadinya penyakit ISPA.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan dampak peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.
(3)   Tingkat Pendidikan Ibu yang Rendah
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial yakni orang yang dihadapkan pada hubungan lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal (Achmad Munib dkk, 2004: 33).
Pengetahuan adalah hasil proses tahu dan setelah melalui proses pengindraaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indera manusia, yaitu: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pengetahuannya. Pendidikan orang tua berhubungan terhadap insidensi ISPA pada anak. Semakin rendah pendidikan orang tua derajat ISPA yang diderita anak semakin berat (Paramitha Anjanata Maaramin dkk, 2013).
(4)   Status Sosial Ekonomi
Kepadatan penduduk dan tingkat ekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesehatan masyarakat. Akan tetapi status secara keseluruhan tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya status sosioekonomi (Hidayat, 2009).
(5)   Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok dapat memberikan dampak kesehatan yang jelas merugikan terhadap lingkungan sekitar dan kesehatan orang lain sebagai perokok pasif, terutama dampak tersebut terhadap keluarga. Hampir semua perokok (91.8%) yang berumur 10 tahun ke atas menyatakan bahwa mereka melakukan kebiasaan merokok di dalam rumah. Akibat dari tingginya persentase perokok yang melakukan kebiasaan merokok di dalam rumah, maka prevalensi perokok pasif menjadi 97.560.002 orang untuk semua golongan umur (Depkes RI, 2004).
Asap rokok dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Adannya anggota didalam keluarga yang merokok dapat memungkinkan seorang anak terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok (Hidayat, 2009).
2.1.1.7  Pencegahan ISPA
1)      Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion) dan pencegahan khusus (spesific protection) terhadap penyakit tertentu.Termasuk disini adalah :
(1)   Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang yang diberikan kepada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan bahaya rokok.
(2)   Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan ISPA. Tujuan dari pemberian imunisasi ini agar daya tahan tubuh anak terhadap penyakit baik.
(3)   Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi. Memberikan makanan kepada anak yang mengandung gizi cukup bagi tubuh.
(4)   Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
(5)   Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah. Misalnya rumah dengan ventilasi yang sempurna, sirkulasi udara lancar, dan tanpa asap tungku di dalam rumah.
2)      Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan dan diagnosis sedini mungkin. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, seorang balita keadaan penyakitnya termasuk dalam klasifikasi bukan pneumonia apabila ditandai dengan batuk, serak, pilek, panas atau demam (suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera diberi pengobatan. Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPA atau bukan pneumonia adalah tanpa pemberian obat antibiotik dan diiberikan perawatan di rumah. Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA adalah :
(1)   Melakukan pemeriksaan sederhana seperti denyut nadi, pernapasan, suhu, dan kondisi fisik pada balita.
(2)   Mengatasi panas (demam). Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
(3)   Pemberian makanan dan minuman. Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-sedikit tetapi sering., memberi ASI lebih sering. Usahakan memberikan cairan (air putih, air buah) lebih banyak dari biasanya.
3)      Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita yang bukan pneumonia agar tidak menjadi lebih parah (pneumonia) dan mengakibatkan kecacatan (pneumonia berat) dan berakhir dengan kematian. Upaya yang dapat dilakukan pada pencegahan penyakit bukan pneumonia pada bayi dan balita yaitu perhatikan apabila timbul gejala ISPA seperti nafas menjadi sesak, anak tidak mampu minum dan sakit menjadi bertambah parah, agar tidak bertambah parah bawalah anak kembali pada petugas kesehatan dan pemberian perawatan yang spesifik di rumah dengan memperhatikan asupan gizi dan lebih sering memberikan ASI.
2.1.2  ISPA pada Balita
Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan generasi yang perlu mendapat perhatian, karena balita merupakan generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan hidup bangsa, balita amat peka terhadap penyakit, tingkat kematian balita masih tinggi (Depkes, 2009). Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, mengingat angka kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan dengan faktor lingkungan antara lain: asap dapur, penyakit infeksi, dan pelayanan kesehatan. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2002-2003 mencatat bahwa balita yang mempunyai gejala-gejala pneumonia dalam dua bulan survey pendahuluan sebesar 15% dari jumlah balita yang ada yaitu sebesar 14.510 (Statistic Indonesia,et at 2003)
Salah satu faktor penyebab kematian balita maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang balita yaitu penyakit  ISPA, merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dapat  dilakukan terhadap balita antara lain: pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisik, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan untuk penyakit infeksi pada balita,  pendidikan kesehatan kepada orang tua (Lamusa,2006). Apabila anak menderita penyakit ISPA maka akan berdampak terhadap proses perkembangan motoriknya karena anak tidak dapat melakukan aktivitas bermain yang pada usia balita sangat diperlukan untuk proses belajar baik secara motorik maupun intelektual dan akan berdampak saat anak dewasa.
2.1.2.1 Kekambuhan ISPA pada Balita

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) kambuh definisikan sebagai kondisi jatuh sakit lagi yang biasanya lebih parah dari dahulu. Dalam Raharjoe (2008) dikatakan bahwa angka kekambuhan ISPA pada balita di negara berkembang 2-10 kali lebih tinggi dari pada di negara maju. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki angka kekambuhan ISPA yang cukup tinggi. Dalam satu tahun rata-rata anak balita di perkotaan menderita ISPA 6-8 kali sedangkan balita yang tinggal di pedesaan dapat terkena ISPA 3-5 kali. Penyebab tingginya kekambuhan ISPA pada balita terkait dengan banyaknya faktor yang berhubungan dengan ISPA. Beberapa faktor yang berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain usia, keadaan gizi yang buruk, status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi lingkungan yang buruk seperti ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian rumah yang terlalu padat, pencemaran udara (asap dan debu) di dalam rumah maupun di luar rumah.

No comments:

Post a Comment