Friday 27 January 2017

PROMOSI KESEHATAN MENURUT LEAVEL AND CLARCK

     
A.   Promosi Kesehatan Menurut Leavel and Clarck
Menurut Leavel and Clark, pencegahan penyakit terbagi dalam 5 tahapan, yang sering disebut 5 level of prevention. Adapun five level of prevention tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Health Promotion (Promosi Kesehatan)
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan, misalnya dalam peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan dan sebagainya. seperti penyediaan air rumah tangga yang baik, perbaikan cara pembuangan sampah, kotoran, air limbah, hygiene perorangan, rekreasi, sex education, persiapan memasuki kehidupan pra nikah dan persiapan menopause. Usaha ini merupakan pelayanan terhadap pemeliharaan kesehatan pada umumnya.
Beberapa usaha di antaranya :
a.    Penyediaan makanan sehat cukup kwalitas maupun kwantitasnya.
b.    Perbaikan hygien dan sanitasi lingkungan,seperti : penyediaan air rumah tangga yang baik,perbaikan cara pembuangan sampah, kotoran dan air limbah dan sebagainya.
c.     Pendidikan kesehatan kepada masyarakat
d.    Usaha kesehatan jiwa agar tercapai perkembangan kepribadian yang baik.
2.  Specific Protection (Perlindungan Khusus)
Perlindungan khusus yang dimaksud dalam tahapan ini adalah perlindungan yang diberikan kepada orang-orang atau kelompok yang beresiko terkena suatu penyakit tertentu. Perlindungan tersebut dimaksudkan agar kelompok yang beresiko tersebut dapat bertahan dari serangan penyakit yang mengincarnya. Oleh karena demikian, perlindngan khusus ini juga dapat disebut kekebalan buatan.
Program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan khusus, pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama di Negara-negara berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun anak-anaknya masih rendah. Selain itu pendidikan kesehatan diperlukan sebagai pencegahan terjadinya kecelakaan baik ditempat-tempat umum maupun tempat kerja. Penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS, penggunaan sarung tangan dan masker saat bekerja sebagai tenaga kesehatan Beberapa usaha lain di antaranya:
a.    Vaksinasi untuk mencegah penyakit-penyakit tertentu.
b.    Isolasi penderitaan penyakit menular .
c.     Pencegahan terjadinya kecelakaan baik di tempat-tempat umum maupun di tempat kerja.
3.  Early Diagnosis and Prompt Treatment (Diagnosis Dini dan  Pengobatan yang Cepat dan Tepat)
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dan cepat merupakan langkah pertama ketika seseorang telah jatuh sakit. Tentu saja sasarannya adalah orang-orang yang telah jatuh sakit, agar sakit yang dideritanya dapat segera diidentifikasi dan secepatnya pula diberikan pengobatan yang tepat.
Tindakan ini dapat mencegah orang yang sudah sakit, agar penyakinya tidak tambah parah. Perlu kita ketahui bahwa faktor yang membuat seseorang dapat sembuh dari penyakit yang dideritanya bukan hanya dipengaruhi oleh jenis obat yang diminum dan kemampuan si tenaga medisnya. Tetapi juga dipengaruhi oleh kapan pengobatan itu diberikan. Semakin cepat pengobatan diberikan kepada penderita, maka semakin besar pula kemungkinan untuk sembuh.
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dan cepat dapat mengurangi biaya pengobatan dan dapat mencegah kecacatan yang mungkin timbul jika suatu penyakit dibiarkan tanpa tindakan kuratif.
Karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi di masyarakat. Bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati penyakitnya. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan kesehatn yang layak. Oleh sebab itu pendidikan kesehatan sangat diperlukan dalam tahap ini.
Pemeriksaan pap smear, pemeriksaan IVA, sadari sebagai cara mendeteksi dini penyakit kanker. Bila dengan deteksi ini ditemui kelainan maka segera dilakukan pemeriksaan diagnostic untuk memastikan diagnosa seperti pemeriksaan biopsy, USG atau mamografi atau kolposcopy 
Tujuan utama dari usaha ini adalah :
a.    Pengobatan yang setepat-tepatnya dan secepat-cepatnya dari setiap jenis penyakit sehingga tercapai penyembuhan yang sempurna dan segera.
b.    Pencegahan penularan kepada orang lain, bila penyakitnya menular.
c.     Mencegah terjadinya kecacatan yang diakibatkan sesuatu penyakit.
Beberapa usaha deteksi dini di antaranya :
  1. Mencari penderita di dalam masyarakat dengan jalan pemeriksaan : misalnya pemeriksaan darah, roentgent paru-paru dan sebagainya serta segera memberikan pengobatan.
  2. Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit yang telah berhubungan dengan penderita penyakit menular (contact person) untuk diawasi agar derita penyakitnya timbul dapat segera diberikan pengobatan dan tindakan-tindakan lain yang perlu misalnya isolasi,desinfeksi dan sebagainya.
  3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar mereka dapat mengenal gejala penyakit pada tingkat awal dan segera mencari pengobatan. Masyarakat perlu menyadari bahwa berhasil atau tindaknya usaha pengobatan, tidak hanya tergantung pada baiknya jenis obat serta keahlian tenaga kesehatannya,melainkan juga tergantung pada kapan pengobatan itu diberikan.
  Pengobatan yang terlambat akan menyebabkan :
  1. Usaha penyembuhan menjadi lebih sulit,bahkan mungkin tidak dapat sembuh lagi misalnya pengobatan kanker (neoplasma) yang terlambat.
  2. Kemungkinan terjadinya kecacatan lebih besar.
  3. Penderitaan si sakit menjadi lebih lama.
  4. Biaya untuk perawatan dan pengobatan menjadi lebih besar.
4.  Disability Limitation (Pembatasan Kecacatan)
Karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau ketidak mampuan. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan pada tahap ini. Penanganan secara tuntas pada kasus-kasus infeksi organ reproduksi menjegah terjadinya infertilitas. Pada tahapan ini dapat disebut juga Pengobatan yang Sempurna (Perfect Treatment) karena kecacatannya yang ditakutkan terjadi disebabkan pengobatan kepada penderita tidak sempurna.
Adapun pembatasan kecacatan terkesan membiarkan penyakit menyerang dan membuat cacat si penderita baru kemudian diambil tindakan. Banyak penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan dapat dicegah dengan pengobatan yang lebih sempurna. Salah satunya adalah dengan meminum obat yang diberikan oleh dokter sampai habis.



5. Rehabilitation (Rehabilitasi)
Selanjutnya yang terakhir adalah tahapan rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan tahapan yang sifatnya pemulihan. Ditujukan pada kelompok masyarakat yang dalam masa penyembuhan sehingga diharapkan agar benar-benar pulih dari sakit sehingga dapat beraktifitas dengan normal kembali. Apalagi kalau suatu penyakit sampai menimbulkan cacat kepada penderitanya, maka tahapan rehabilitasi ini bisa dibilang tahapan yang menentukan hidupnya kedepan akan seperti apa nantinya.
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi cacat, untuk memeulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengetian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak akan segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu orang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untik kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau menerima mereka sebagai anggoota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu jelas pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu pendidikan kesehatan pada  masyarakat. Sebagai contoh: pusat-pusat rehabilitasi bagi korban kekerasan, rehabilitasi PSK, dan korban narkoba.
Rehabilitasi ini terdiri atas :
  1. Rehabilitasi fisik
Yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik semaksimal-maksimalnya. Misalnya,seseorang yang karena kecelakaan,patah kakinya perlu mendapatkan rehabilitasi dari kaki yang patah ini sama dengan kaki yang sesungguhnya.
  1. Rehabilitasi mental
Yaitu agar bekas penderita dapat menyesuaikan diri dalam hubungan perorangan dan social secara memuaskan. Seringkali bersamaan dengan terjadinya cacat badaniah muncul pula kelainan-kelainan atau gangguan mental. Untuk hal ini bekas penderita perlu mendapatkan bimbingan kejiwaan sebelumm kembali ke dalam masyarakat.

  1. Rehabilitasi sosial vokasional
Yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan/jabatan dalam masyarakat dengan kapasitas kerja yang semaksimal-maksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak mampuannya.
  1. Rehabilitasi aesthesis
Yaitu usaha rehabilitasi aesthetis perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa keindahan, walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat dikembalikan misalnya: penggunaan mata palsu.
Usaha mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat, memerlukan bantuan dan pengertian dari segenap anggota masyarakat untuk dapat mengerti dan memahami keadaan mereka (fisik, mental dan kemampuannya) sehingga memudahkan mereka dalam proses penyesuaian dirinya dalam masyarakat, dalam keadaannya yang sekarang.
Sikap yang diharapkan dari warga masyarakat adalah sesuai dengan falsafah pancasila yang berdasarkan unsur kemanusiaan yang sekarang ini. Mereka yang direhabilitasi ini memerlukan bantuan dari setiap warga masyarakat,bukan hanya berdasarkan belas kasihan semata-mata,melainkan juga berdasarkan hak azasinya sebagai manusia. Usaha pencegahan dan kejadian penyakit. Bila seseorang seseorang jatuh sakit; dengan pengobatan akan terjadi tiga kemungkinan yaitu:
a.    Sembuh sempurna.
b.    Sembuh dengan cacat
c.     Tidak sembuh lagi (meninggal)
Dikatakan berhasil yaitu bila terjadi kesembuhan secar sempurna seandainya terjadi kecacatan, maka alat tubuh yang cacat ini akan tetap dimilikinya dan seringkali merupakan beban (penderitaan) untuk selama-lamanya.
Bila alat-alat tulis rusak, kita dapat membeli yang baru untuk menggantinya, dan ia akan berfungsi lagi dengan baik, seolah-olah alat tulis tersebut dalam keadaan baru kembali. Lain halnya dengan alat tubuh manusia, bila rusak (sakit) kita hanya berusaha untuk memperbaikinya (mengobatinya) dengan segala daya, dan tetap memakainya lagi, walaupun perbaikannya tidak mencapai kesempurnaan (cacat). Penggantian dengan alat buatan (prothese),tidak akan menjadi sebaik seperti asalnya. Karena itu sangatlah bijaksana, bila kita selalu serprinsip lebih baik mencegah timbulnya penyakit dari pada mengobati maupun merehabilitasinya

PROMOSI KESEHATAN MENURUT OTTAWA CHARTER

A.  Promosi Kesehatan Menurut Piagam Ottawa (Ottawa Charter)
  1. Visi Promosi Kesehatan
Visi adalah impian, cita – cita atau harapan yang ingin dicapai oleh suatu kegiatan atau program. Promosi kesehatan sebagai lembaga atau institusi atau suatu program yang seyogianya mempunyai visi dan misi yang jelas. Sebab dengan visi dan misi tersebut institusi atau program mempunyai arah dan tujuan yang akan dicapai. Oleh sebab itu, visi promosi kesehatan (khususnya Indonesia) tidak terlepas dari visi pembangunan kesehatan di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Undang – Undang Kesehatan RI No. 36 Tahun 2009, yakni: “Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya, sebagai investasi sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi”. Promosi kesehatan sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat di Indonesia harus mengambil bagian dalam mewujudkan visi pembangunan kesehatan di Indonesia tersebut. Sehingga promosi kesehatan dapat dirumuskan : “Masyarakat mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya”.
Adapun visi promosi kesehatan anatara lain :
a.    Mau (willigness) memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
b.    Mampu (ability) memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
c.     Memelihara kesehatan, berarti mau dan mampu mencegah penyakit, melindungi diri dari gangguan – gangguan kesehatan.
d.    Meningkatkan kesehatan, berarti mau dan mampu meningkatkan kesehatannya. Kesehatan perlu ditingkatkan karena derajat kesehatan baik individu, kelompok atau masyarakat itu bersifat dinamis tidak statis.



  1. Misi Promosi Kesehatan
Dalam Ottawa Charter dirumuskan 3 hal penting untuk mengimplementasikan Promosi Kesehatan sebagai Misi Promosi Kesehatan yaitu:
a.    Advokasi (Advocacy)
Kegiatan advokat ini dilakukan terhadap para pengambil keputusan dari berbagai tingkat dan sektor terkait dengan kesehatan. Tujuan kegiatan ini adalah meyakinkan para pejabat pembuat keputusan atau penentu kebijakan bahwa program kesehatan yang akan dijalankan tersebut penting. Oleh sebab itu, perlu dukungan kebijakan atau keputusan dari pejabat tersebut.
b.    Memampukan atau memperkuat (Enable)
Sesuai dengan visi promosi kesehatan mau dan mampu memelihara serta meningkatkan kesehatannya, promosi kesehatan mempunyai misi utama untuk memampukan masyarakat. Hal ini berarti baik secara langsung atau melalui tokoh – tokoh masyarakat, promosi kesehatan harus memberikan keterampilan – keterampilan kepada masyarakat agar mereka mandiri di bidang kesehatan. Telah kita sadari bersama bahwa kesehatan dipengaruhi banyak faktor luar kesehatan seperti pendidikan, ekonomi, sosial dan sebagainya. Oleh sebab itu, dalam rangka memberdayakan masyarakat di bidang kesehatan, maka keterampilan di bidang ekonomi (pertanian, peternakan, perkebunan), pendidikan dan sosial lainnya perlu dikembangkan melalui promosi kesehatan ini
c.     Menjembatani (Mediate)
Promosi kesehatan juga mempunyai misi mediator atau menjembatani antara sektor kesehatan dengan sektor yang lain sebagai mitra. Dengan kata lain promosi kesehatan merupakan perekat kemitran di bidang pelayanan kesehatan. Kemitraan adalah sangat penting sebab tanpa kemitraan niscaya sektor kesehatan tidak mampu menangani masalah – masalah kesehatan yang begitu kompleks dan luas
Gambar 1. Logo Ottawa Charter
Sumber: www.who.int

Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa, Kanada pada tahun 1986 menghasilkan piagam Otawa (Ottawa Charter). Di dalam piagam Ottawa tersebut dirumuskan pula strategi baru promosi kesehatan, yang mencakup 5 butir, yaitu:

a.    Kebijakan Berwawasan Kesehatan (Health Public Policy)
Suatu strategi promosi kesehatan yang di tujukan kepada para penentu atau pembuat kebijakan, agar mereka mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik yang mendukung atau menguntungkan kesehatan. Dengan perkataan lain, agar kebijakan- kebijakan dalam bentuk peraturan, perundangan, surat-surat keputusan dan sebagainya, selalu berwawasan atau berorientasi kepada kesahatan publik.
Misalnya, ada peraturan atau undang-undang yang mengatur adanya analisis dampak lingkungan untuk mendirikan pabrik, perusahaan, rumah sakit, dan sebagainya. Dengan katalain, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat publik, harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan (kesehatan masyarakat). Misalnya, orang yang mendirikan pabrik/ industri, sebelumnya harus dilakukan analisis dampak lingkungan agar tidak tercemar dan tidak berdampak kepada masyarakat. Dalam proses pembangunan adakalanya aspek kesehetan sering diabaikan, oleh karena itu adanya kebijakan yang berwawasan kesehatan, diharapkan bisa mengedepankan proses pembangunan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kesehatan. Kegiatan ini ditujukan kepada para pengambil kebijakan ( policy makers) atau pembuat keputusan (decision makers) baik di institusi pemerintah maupun swasta. Sebagai contoh ; adanya perencanaan pembangunan PLTN di daerah jepara, para penagmbil kebijakan dan pembuat keputusan harus benar-benar bisa memperhitungkan untung ruginya. harus diperhatikan kemungkinan dampak radiasi yang akan ditimbulkan, serta kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa berdampak pada kesehatan. 

b.    Lingkungan yang mendukung (Supportive Environment)
            Strategi ini ditujukan kepada para pengelola tempat umum, termasuk  pemerintah kota, agar mereka menyediakan sarana-prasarana atau fasilitas yang  mendukung terciptanya perilaku sehat bagi masyarakat, atau sekurang-kurangnya pengunjung tempat-tempat umum tersebut. Lingkungan yang mendukung kesehatan bagi tempat-tempat umum antara lain: tersedianya tempat sampah, tersedianya tempat buang air besar/kecil, tersedianya air bersih, tersedianya ruangan bagi para perokok dan non-perokok dan sebagainya.
Contoh : perlunya jalur hijau didaerah perkotaan, yang akhir-akhir ini sering diabaikan pemanfaatannya oleh oknum-oknum tertentu. perlunya perlindungan diri pada kelompok terpapar pencemaran udara , seperti penggunaan masker pada penjaga loket jalan tol, petugas polantas, dsb.

cReorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorient Health Service)
Sudah menjadi pemahaman masyarakat pada umumnya bahwa dalam pelayanan kesehatan itu ada “provider” dan “consumer”. Penyelenggara (penyedia) pelayanan kesehatan adalah pemerintah dan swasta, dan masyarakat adalah sebagai pemakai atau pengguna pelayanan kesehatan. Pemahaman semacam ini harus diubah dan harus diorientasi lagi, bahwa masyarakat bukan sekedar pengguna atau penerima pelayanan kesehatan, tetapi sekaligus juga sebagai penyelenggara, dalam batas-batas tertentu. Realisasi dari reorientasi pelayanan kesehatan ini, adalah para penyelenggara pelayanan kesehatan baik pemerintrah maupun swasta harus melibatkan diri, bahkan memberdayakan masyarakat agar mereka juga dapat berperan bukan hanya sebagai penerima pelayanan kesehatan, tetapi juga sekaligus sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan. Dalam meorientasikan pelayanan kesehatan ini peran promosi kesehatan  sangat penting.
Adanya kesalahan persepsi mengenai pelayanan kesehatan, tanggung jawab pelayanan kesehatan kadang hanya untuk pemberi pelayanan (health provider ), tetapi  pelayanan kesehatan  juga merupakan  tanggung jawab  bersama antara pemberi pelayanan kesehatan ( health provider ) dan pihak yang mendapatkan pelayanan. Bagi pihak pemberi pelayanan diharapkan tidak hanya sekedar memberikan pelayanan kesehatan saja, tetapi juga bisa membangkitkan peran serta aktif masyarakat untuk berperan dalam pembangunan kesehatan. dan sebaliknya bagi masyarakat, dalam proses pelayanan dan pembangunan kesehatan harus menyadari bahwa perannya sangatlah penting, tidak hanya sebagai subyek, tetapi sebagai obyek. Sehingga peranserta masyarakat dalam pembangunan kesehatan sangatlah diharapkan. Melibatkan masyarakat dalam pelayanan kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya sendiri.
Bentuk pemberdayaan masyarakat yaitu LSM yang peduli terhadap kesehatan baik dalam bentuk pelayanan maupun bantuan teknis (pelatihan-pelatihan) sampai upaya swadaya masyarakat sendiri. Contoh : semakin banyaknya upaya-upaya kesehatan yang bersumberdaya masyarakat (UKBM), seperti posyandu, UKGMD, Saka bhakti Husada, poskestren, dll. 

d.    Keterampilan Individu (Personnal Skill)
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat yang terdiri dari individu, keluarga, dan kelompok-kelompok. Oleh sebab itu, kesehatan masyarakat akan terwujud apabila kesehatan indivu-individu, keluarga-keluarga dan kelompok- kelompok tersebut terwujud. Strategi untuk mewujudkan keterampilan individu-individu (personnels kill) dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan adalah sangat penting. Langkah awal dari peningkatan keterampilan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka ini adalah memberikan pemahaman-pemahaman kepada anggota masyarakat tentang cara-cara memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengenal penyakit, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan profesional, meningkatkan kesehatan, dan sebagainya. Metode dan teknik pemberian pemahaman ini lebih bersifat individual daripada massa.
Dalam mewujudkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan, ketrampilan individu mutlak diperlukan. Dengan harapan semakin banyak individu yang terampil akan pelihara diri dalam bidang kesehatan, maka akan memberikan cerminan bahwa dalam kelompok dan masyarakat tersebut semuanya dalam keadaan yang sehat. ketrampilan individu sangatlah diharapkan dalam mewujudkan keadaan masyarakat yang sehat. Sebagai dasar untuk terapil tentunya individu dan masyarakat perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan mengenai kesehatan, selain itu masyarakat juga perlu dilatih mengenai cara-cara dan pola-pola hidup sehat.
Masing-masing individu seyogyanya mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang baik terhadap :
-        cara – cara memelihara kesehatannya
-        mengenal penyakit2 dan penyebabnya
-        mampu mencegah penyakit
-        mampu meningkatkan kesehatannya
-        mampu mencari pengobatan yang layak bilamana sakit 

Promosi kesehatan mendukung pengembangan personal dan sosial melalui penyediaan informasi, pendidikan kesehatan, dan pengembangan keterampilan hidup. Dengan demikian, hal ini meningkatkan pilihan yang tersedia bagi masyarakat untuk melatih dalam mengontrol kesehatan dan lingkungan mereka, dan untuk membuat pilihan yang kondusif bagi kesehatan. Memungkinkan masyarakat untuk belajar melalui kehidupan dalam menyiapkan diri mereka untuk semua tingkatannya dan untuk menangani penyakit dan kecelakaan sangatlah penting. Hal ini harus difasilitasi dalam sekolah, rumah, tempat kerja, dan semua lingkungan komunitas. Keterampilan Individu adalah kemapuan petugas dalam menyampaikan informasi kesehatan dan kemampuan dalam mencontohkan (mendemostrrasikan). Contoh : melalui penyuluhan secra indicidu atau kelompok seperti di Posyandu, PKK. Adanya pelatihan kader kesehatan, pelatihan dokter kecil, pelatihan guru UKS, dll.

 
e.    Gerakan masyarakat (Community Action)
Untuk mendukung perwujudan masyarakat yang mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya seperti tersebut dalam visi promosi kesehatan ini, maka di dalam masyarakat itu sendiri harus ada gerakan atau kegiatan-kegiatan untuk kesehatan. Oleh karenaitu, promosi kesehatan harus mendorong dan memacu kegiatan-kegiatan di masyarakat dalam mewujudkan kesehatan mereka. Tanpa adanya kegiatan masyarakat di bidang kesehatan, maka akan terwujud perilaku yang kondusif untuk kesehatan atau masyarakat yang mau dan mampu memelihara serta meningkatkan kesehatan mereka.
Derajat kesehatan masyarakat akan efektif apabila unsur-unsur yang ada di masyarakat tersebut bergerak bersama-sama. Dari kutipan piagam Ottawa, dinyatakan bahwa: Promosi Kesehatan adalah upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan sendiri. 
Adanya gerakan ini dimaksudkan untuk menunjukan bahwa kesehatan tidak hanya milik pemerintah, tetapi juga milik masyarakat. Untuk dapat menciptakan gerakan kearah hidup sehata, masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan. selain itu masyarakat perlu diberdayakan agar mampu berperilaku hidup sehat. Kewajiban dalam upaya meningkatkan kesehatan sebagai usaha untuk mewujudkan derajat setinggi-tingginya, teranyata bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan. Masyarakat justru yang berkewajiban dan berperan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Hal ini sesuai yang tertuang dalam Pasal 9 , UU N0. 36 tahun 2009 Tentang kesehatan, yang berbunyi : “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya”.
  Untuk Memerkuat kegiatan-kegiatan komunitas (strengthen community actions) promosi kesehatan bekerja melalui kegiatan komunitas yang konkret dan efisien dalam mengatur prioritas, membuat keputusan, merencanakan strategi dan melaksanakannya untuk mencapai kesehatan yang lebih baik. Inti dari proses ini adalah memberdayakan komunitas –-kepemilikan mereka dan kontrol akan usaha dan nasib mereka. Pengembangan komunitas menekankan pengadaan sumber daya manusia dan material dalam komunitas untuk mengembangkan kemandirian dan dukungan sosial, dan untuk mengembangkan sistem yang fleksibel untuk memerkuat partisipasi publik dalam masalah kesehatan. Hal ini memerlukan akses yang penuh serta terus menerus akan informasi, memelajari kesempatan untuk kesehatan, sebagaimana penggalangan dukungan. Gerakan Masyarakat merupakan suatu partisifasi masyarakat yang menunjang kesehatan. Contoh adanya gerakan 3 M dalam program pemberantasn DBD, gerakan jumat bersih, perlu diketahuai di negeri tetangga malaysia ada gerakan jalan seribu langkah (hal ini bisa kita contoh), bahkan untuk mengukurnya disana sudah dijual alat semacam speedometer.

Dalam piagam Ottawa tersebut juga mencantumkan ada 9 (sembilan) faktor sebagai prasyarat untuk kesehatan, yaitu:
1.     Perdamaian/keamanan.
2.     Tempat tinggal.
3.     Pendidikan.
4.     Makanan.
5.     Pendapatan.
6.     Ekosistem yang stabil dan seimbang.
7.     Sumber daya yang berkesinambungan.
8.     Keadilan sosial.
9.     Pemerataan.

  1. Komitmen Terhadap Promosi Kesehatan
Konferensi Ottawa menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang terkait dengan komitmen terhadap Promosi Kesehatan ke depan, sebagai berikut:
a.    Memusatkan sasaran ke arah kebijakan publik berwawasan kesehatan dan melakukan advokasi untuk memperoleh komitmen politik yang jelas terhadap kesehatan dan kesetaraan/keadilan di seluruh sektor.
b.    Melakukan perlawanan atau penolakan terhadap tekanan-tekanan yang berasal dari produk berbahaya, pengurasan sumber adaya alam secara tidak bertanggung jawab, kondisi lingkungan yang tidak nyaman untuk kesehatan, gizi, serta memusatkan perhatian pada isu-isu global seperti polusi, kecelakaan dan keselamatan kerja pengadaan perumahan dan pembentukan pemukiman yang aman dan sehat.
c.     Merespon kesenjangan dalam pelayanan kesehatan  yang ada di dalam masyarakat menjembatani kesenjangan tersebut dengan kebijakan dan peraturan-peraturan yang dapat mendorong terciptanya kesetaraan atau keadilan, baik untuk mendapatkan kesemparan dalam pelayanan kesehatan maupun fasilitas atau kesempatan lainnya, seperti pekerjaan, jaminan asuransi kesehatan dan sebagainya.
d.    Menempatkan manusia sebagai subyek utama kesehatan, untuk mendorong dan memungkinkan mereka menjaga kesehatan diri, keluarga, teman, baik secara finansial maupun dukugan lainnya, serta menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang esensial dakam meningkatkan status kesehatan, kondisi kehidupan dan kesejahteraan mereka.
e.    Melakukan reorientasi dalam sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya yang ada demi peningkatan status kesehatan, serta berbagi peran dengan sektor dan disiplin lain, terutama dengan anggota masyarakat itu sendiri.
f.      Menempatkan kesehatan dan pemeliharaannya sebagai investasi sosial utana, mengamanatkan isu ekologis kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
Konferensi ini mendorong pihak yang berkepentingan untuk bekerja sama dengan mereka sebagai mitra kesehatan masyarkaat yang kuat. 

PENYAKIT ISPA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 LANDASAN TEORI
2.1.1  Tinjauan umum tentang ISPA
2.1.1.1  Pengertian ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut. ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan yang ditandai masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan dimulai dari organ hidung sampai alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.
Infeksi saluran pernapasan akut diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu infeksi saluran pernapasan akut berat (pneumonia berat) ditandai dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada saat inspirasi, infeksi saluran pernapasan akut sedang (pneumonia) ditandai dengan frekuensi pernapasan cepat yaitu umur di bawah 1 tahun, 50 kali/menit atau lebih cepat dan umur 1-4 tahun, 40 kali/menit atau lebih. Sedangkan infeksi saluran pernapasan akut ringan (bukan pneumonia) ditandai dengan batuk pilek tanpa napas cepat dan tanpa tarikan dinding dada (Depkes RI, 1996: 5).
Terjadinya ISPA pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Infeksi ini disebut dengan infeksi akut karena berlansung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit dapat digolongkan dalam ISPA, kurang dari 14 hari. Biasanya diperlukan waktu penyembuhan 5–14 hari (Nurrijal, 2009).
2.1.1.2  Etiologi ISPA
Penyebab penyakit ISPA adalah bakteri, virus, jamur dan lain-lain. Penyakit ISPA bagian atas disebabkan oleh virus, dan untuk ISPA bagian bawah disebabkan oleh bakteri , virus dan mycoplasma. ISPA pada bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri mempunyai manifestasi klinis yang sangat berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya (Mennegethi, 2009).
Bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA berasal dari genus Strepptococcus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Sedangkan untuk virus yang menyebabkan penyakit ISPA antara lain berasal dari golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, dan Herpesvirus (Mennegethi, 2009).
2.1.1.3  Klasifikasi ISPA
Penyakit ISPA di bagi menjadi dua berdasarkan letak anatominya, yaitu :
1)      ISPA Bagian Atas
ISPA bagian atas adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran pernapasan disebelah laring. Kebanyakan penyakit saluran pernapasan bagian atas dan bawah secara bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa diantaranya melibatkan bagian-bagian spesifik saluran pernapasan secara nyata.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagian atas diantaranya adalah Nasofaringitis Akut (Salesma), Faringitis Akut (termasuk tonsillitis dan faringitis) dan Rhinitis.
(1)   Rhinitis
Rhinitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, tapi kebanyakan rhinitis disebabkan karena alergi yang kemudian dapat di ikuti dengan bakteri. Umumnya penyakit ini sering timbul pada musim penghujan karena cuaca yang dingin.
(2)   Faringitis
Faringitis adalah  peradangan yang menyerang tenggorok atau faring yang disebabkan karena virus atau kuman. Infeksi ini merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering dijumpai.
2)      ISPA Bagian Bawah
ISPA bagian bawah adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran pernapasan bagian bawah mulai dari laring sampai alveoli. Penyakit-penyakit yang tergolong ISPA bagian bawah adalah Laringitis, Asma Bronchial, Bronchitis Akut maupun Kronis, Bronco Pneumonia atau Pneumonia (suatu peradangan pada paru dimana peradangan tidak saja pada jaringan paru, tetapi juga pada brochioli)
(1)   Laringitis
Laringitis adalah peradangan pada laring (pangkal tenggorok). Laring terletak dipuncak saluran udara yang menuju ke paru (trakea) dan mengandung pita suara yang disebabkan karena penggunaan suara yang berlebihan, reaksi alergi, menghirup iritan, demam, flu, dan pneumonia. Penyakit ini dapat menyertai bronkitis, pneumonia, influenza, pertusis, campak dan difteri. Gejala dari laringitis adalah suara serak, iritasi di tenggorok, demam, batuk, dan tenggorokan terasa buntu.
(2)   Pneumonia Viral
Pneumonia Viral disebabkan oleh virus yang ditandai dengan munculnya batuk-batuk kering. Keluhan lainnya seperti sakit kepala, sakit otot-otot atau di sendi dan kadang-kadang pilek. Terjadinya pneumonia ini sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kegagalan pernapasan serta terdapat gangguan jangka panjang pada saluran pernapas an sesudah sembuh.
(3)   Pneumonia Bakterialis
Pneumonia  Bakterialis adalah peradangan parenkrim paru dengan eksudasi dan konsolidasi, yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pneumonia ini dibagi menjadi 2 macam yaitu Pneumonia sebab kuman gram positif dan Pneumonia sebab kuman gram negatif.
Penyakit ISPA dapat di bagi menjadi dua berdasarkan golongan umur, yaitu :
1)      Kelompok  umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun, dibagi menjadi:
(1)   Pneumonia Berat
Pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk aatau kesukaran bernapas diseRtai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat (fast breahting) dimana frekuensi nafas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
(2)   Pneumonia Ringan
Pneumonia ringan didasarkan pada adannya batuk dan kesukaran bernapas diseRtai adanya napas cepat sesuai dengan umur. Batas napas cepat (fast breathing) pada anak usia 2 bulan -< 1 tahun adalah 50 kali per menit dan 40 kali per menit untuk anak usia 1 -< 5 tahun.
(3)   Bukan Pneumonia
Apabila ditandai dengan nafas cepat tetapi tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia ditandai dengan tidak ditemukannya tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu, tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk (Depkes RI, 2002).
2.1.1.4  Tanda dan Gejala ISPA
Dalam pelaksanaan program pengendalian penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai dengan adanya peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai golongan umur.
Menurut derajat keparahannya, ISPA dibagi menjadi tiga golongan yaitu (Suyudi, 2002):
1)      ISPA ringan bukan pneumonia
Gejala anak yang menderita ISPA ringan adalah sebagai berikut:
(1)   Batuk
(2)   Pilek, yaitu menegeluarkan lendir atau ingus dari hidung.
(3)   Panas dan demam, yaitu suhu badan anak lebih dari 37 0 C.
(4)   Serak, yaitu anak bersuara serak pada waktu mengeluarkan suara.
2)      ISPA sedang bukan pneumonia
Gejala anak yang menderita ISPA sedang adalah sebagai berikut:
(1)   Panas dan demam, yaitu suhu badan anak lebih dari 390C.
(2)   Tenggorokan berwarna merah.
(3)   Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
(4)   Pernapasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari 1 tahun dan untuk anak satu tahun atau lebih 40 kali/menit.
(5)   Pernapasan berbunyi sepeRti mendengkur.
(6)   Timbul bercak-bercak pada kulit.
3)      ISPA berat pneumonia berat
Gejala anak yang menderita ISPA berat adalah sebagai berikut:
(1)   Tenggorokan berwarna merah.
(2)   Pernapasan lebih dari 60 kali/menit dan nadi tidak teraba.
(3)   Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun.
(4)   Bibir atau kulit membiru.
(5)   Pernapasan berbunyi mengorok.
(6)   Sela iga teRtarik ke dalam pada waktu bernapas.
2.1.1.5  Patofisiologi ISPA
Virus merupakan penyebab tersering infeksi saluran nafas. Pada paparan pertama virus akan menyebabkan mukosa membengkak dan menghasilkan banyak lendir sehingga akan menghambat aliran udara melalui saluran nafas. Batuk merupakan mekanisme pertahan tubuh untuk mengeluarkan lendir keluar dari saluran pernafasan. Bakteri dapat berkembang dengan mudah dalam mukosa yang terserang virus, sehingga hal ini menyebabkan infeksi sekunder, yang akan menyebabkan terbentuknya nanah dan memperburuk penyakit.
2.1.1.6  Faktor Resiko ISPA
Terdapat beberapa faktor yang berperan terhadap kejadian penyakit ISPA, yaitu :
1)      Faktor dari Host (diri)
(1)   Status Gizi
Zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap peRtumbuhan dan perkembangan anak akan dihubungani oleh umur, keadaan fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersediannya makanan dan aktivitas dari anak. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adannya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat ISPA. Selain itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya seRta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.
Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terkena ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal. Hal ini disebabkan karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Infeksi dari penyakit ini akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.
(2)   Status Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit untuk meningkatkan kualitas hidup, perkembangan, dan efektivitas program imunisasi dapat dinilai dari penurunan angka kesakitan dan kematian penyakit tersebut. Balita atau anak yang tidak mendapatkan imunisasi dengan baik atau tidak rutin sangat berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan moRtalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif dengan memberikan imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah.
(3)   Pemberian Suplemen Vitamn A
Suplemen ini sangat berperan untuk masa peRtumbuhan, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempeRtahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi. Pemberian suplemen vitamin A dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. Suplementasi Vitamin A merupakan solusi kesembuhan ISPA karena salah satu khasiat Vitamin A dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi sepeRti ISPA. Oleh karena itu, pemberian kapsul vitamin A harus secara rutin dilakukan dengan rentang waktu enam bulan.
(4)   Pemberian ASI
ASI merupakan makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan peRtama kehidupannya. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan). ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan atau cairan lain.
ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan mengandung imun untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (Hidayat, 2009).
(5)   Berat Badan Lahir Rendah
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang dari 2500 gram. Berat Badan Lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama sakit saluran pernapasan lainnya. Bayi dengan BBLR sering mengalami penyakit gangguan pernafasan, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih lemah.
2)      Faktor  dari Lingkungan
(1)   Kondisi Rumah
Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berhubungan pada terjadinya dan tersebarnya ISPA. Beberapa komponen rumah yang berkaitan dengan kejadian ISPA adalah kondisi langit-langit, dinding rumah, lantai rumah, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi rumah, sarana pembuangan asap dapur, penerangan rumah dan konponen sarana sanitasi (Aprinda, 2007: 139-150).
Rumah yang jendela nya kecil menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah. Bayi dan anak yang sering menghisap asap lebih mudah terserang ISPA. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah juga memudahkan anak-anak terserang ISPA (Ranuh, 1997).
(2)   Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian di dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan (Kemenkes) nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah yaitu 8m­2. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Banyaknya anggota yang tinggal di dalam satu rumah merupakan faktor resiko terjadinya penyakit ISPA.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan dampak peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.
(3)   Tingkat Pendidikan Ibu yang Rendah
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial yakni orang yang dihadapkan pada hubungan lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal (Achmad Munib dkk, 2004: 33).
Pengetahuan adalah hasil proses tahu dan setelah melalui proses pengindraaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indera manusia, yaitu: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pengetahuannya. Pendidikan orang tua berhubungan terhadap insidensi ISPA pada anak. Semakin rendah pendidikan orang tua derajat ISPA yang diderita anak semakin berat (Paramitha Anjanata Maaramin dkk, 2013).
(4)   Status Sosial Ekonomi
Kepadatan penduduk dan tingkat ekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesehatan masyarakat. Akan tetapi status secara keseluruhan tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya status sosioekonomi (Hidayat, 2009).
(5)   Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok dapat memberikan dampak kesehatan yang jelas merugikan terhadap lingkungan sekitar dan kesehatan orang lain sebagai perokok pasif, terutama dampak tersebut terhadap keluarga. Hampir semua perokok (91.8%) yang berumur 10 tahun ke atas menyatakan bahwa mereka melakukan kebiasaan merokok di dalam rumah. Akibat dari tingginya persentase perokok yang melakukan kebiasaan merokok di dalam rumah, maka prevalensi perokok pasif menjadi 97.560.002 orang untuk semua golongan umur (Depkes RI, 2004).
Asap rokok dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Adannya anggota didalam keluarga yang merokok dapat memungkinkan seorang anak terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok (Hidayat, 2009).
2.1.1.7  Pencegahan ISPA
1)      Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion) dan pencegahan khusus (spesific protection) terhadap penyakit tertentu.Termasuk disini adalah :
(1)   Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang yang diberikan kepada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan bahaya rokok.
(2)   Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan ISPA. Tujuan dari pemberian imunisasi ini agar daya tahan tubuh anak terhadap penyakit baik.
(3)   Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi. Memberikan makanan kepada anak yang mengandung gizi cukup bagi tubuh.
(4)   Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
(5)   Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah. Misalnya rumah dengan ventilasi yang sempurna, sirkulasi udara lancar, dan tanpa asap tungku di dalam rumah.
2)      Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan dan diagnosis sedini mungkin. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, seorang balita keadaan penyakitnya termasuk dalam klasifikasi bukan pneumonia apabila ditandai dengan batuk, serak, pilek, panas atau demam (suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera diberi pengobatan. Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPA atau bukan pneumonia adalah tanpa pemberian obat antibiotik dan diiberikan perawatan di rumah. Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA adalah :
(1)   Melakukan pemeriksaan sederhana seperti denyut nadi, pernapasan, suhu, dan kondisi fisik pada balita.
(2)   Mengatasi panas (demam). Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
(3)   Pemberian makanan dan minuman. Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-sedikit tetapi sering., memberi ASI lebih sering. Usahakan memberikan cairan (air putih, air buah) lebih banyak dari biasanya.
3)      Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita yang bukan pneumonia agar tidak menjadi lebih parah (pneumonia) dan mengakibatkan kecacatan (pneumonia berat) dan berakhir dengan kematian. Upaya yang dapat dilakukan pada pencegahan penyakit bukan pneumonia pada bayi dan balita yaitu perhatikan apabila timbul gejala ISPA seperti nafas menjadi sesak, anak tidak mampu minum dan sakit menjadi bertambah parah, agar tidak bertambah parah bawalah anak kembali pada petugas kesehatan dan pemberian perawatan yang spesifik di rumah dengan memperhatikan asupan gizi dan lebih sering memberikan ASI.
2.1.2  ISPA pada Balita
Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan generasi yang perlu mendapat perhatian, karena balita merupakan generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan hidup bangsa, balita amat peka terhadap penyakit, tingkat kematian balita masih tinggi (Depkes, 2009). Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, mengingat angka kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan dengan faktor lingkungan antara lain: asap dapur, penyakit infeksi, dan pelayanan kesehatan. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2002-2003 mencatat bahwa balita yang mempunyai gejala-gejala pneumonia dalam dua bulan survey pendahuluan sebesar 15% dari jumlah balita yang ada yaitu sebesar 14.510 (Statistic Indonesia,et at 2003)
Salah satu faktor penyebab kematian balita maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang balita yaitu penyakit  ISPA, merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dapat  dilakukan terhadap balita antara lain: pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisik, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan untuk penyakit infeksi pada balita,  pendidikan kesehatan kepada orang tua (Lamusa,2006). Apabila anak menderita penyakit ISPA maka akan berdampak terhadap proses perkembangan motoriknya karena anak tidak dapat melakukan aktivitas bermain yang pada usia balita sangat diperlukan untuk proses belajar baik secara motorik maupun intelektual dan akan berdampak saat anak dewasa.
2.1.2.1 Kekambuhan ISPA pada Balita

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) kambuh definisikan sebagai kondisi jatuh sakit lagi yang biasanya lebih parah dari dahulu. Dalam Raharjoe (2008) dikatakan bahwa angka kekambuhan ISPA pada balita di negara berkembang 2-10 kali lebih tinggi dari pada di negara maju. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki angka kekambuhan ISPA yang cukup tinggi. Dalam satu tahun rata-rata anak balita di perkotaan menderita ISPA 6-8 kali sedangkan balita yang tinggal di pedesaan dapat terkena ISPA 3-5 kali. Penyebab tingginya kekambuhan ISPA pada balita terkait dengan banyaknya faktor yang berhubungan dengan ISPA. Beberapa faktor yang berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain usia, keadaan gizi yang buruk, status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi lingkungan yang buruk seperti ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian rumah yang terlalu padat, pencemaran udara (asap dan debu) di dalam rumah maupun di luar rumah.